: indonesiapole: Indonesia, Gunung Api dan Waterloo

Translate

lundi 15 juin 2015

Indonesia, Gunung Api dan Waterloo

Bacalah:
https://id.wikipedia.org/wiki/Napoleon_Bonaparte
dan juga
https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Waterloo

Waterloo, gunung api Indonesia dan Nappoleon


 Pertempuran Waterloo 1815-2015. Gunung api yang bersekutuan dengan Inggris




Inilah Tambora, gunung berapi Indonesia dari pulau Sumbawa. Pada April 10, 1815, gunung berapi itu meletus dalam skala terbesar di sejarah - © AFP PHOTO / NASA


Kekalahan Napoléon di Waterloo (pada tanggal 18 Juni 1815) terjadi mungkin karena letusan gunung berapi di Indonesia dua bulan yang lalu.
Dengan pendekatan peringatan ke-200 tahun dari Pertempuran Waterloo yang memicu jatuhnya Napoleon dan kebangkitan Eropa aktual seperti yang kita kenal sekarang, ternyata yang bertanggung jawab untuk kemenangan Inggris  bukan Duke of Wellington. Yang bertanggung jawab terletak  ribuan kilometer dari Benua Eropa. Kelihatannya hipotesis tersebut  sangat aneh tapi adalah hasil disampaikan tren baru dalam penelitian sejarah yang menghubungkan nasib manusia dengan gerakan bumi kita.



Kita di Indonesia, bukan Indonesia maaf! tapi di Hindia Belanda, pada tanggal April 10, 1815, gunung berapi Tambora di Pulau Sumbawa akan meletus. Gunung api ini terletak di jantung api Pasifik, yang adalah daerah dengan  aktivitas seismik terpenting di dunia, gunung itu seperti meriam alam terbesar di alam dan bahaya api ini menunggu 5000 tahun sebelum letusannya. Kembang api berlangsung seminggu, meledak gunung dan melepaskan di stratosfer sekitar setengah juta ton abu yang angin menyebarkan di seluruh atmosfer.
Pada waktu itu, Eropa sedang dalam kekacauan. Namun, tentara Inggris dan Prusia ( yang beraliansi setelah beberapa tahun aliansi, pengkhianatan dan tak pernah puas dengan imperialisme Perancis) yang dipimpin oleh Wellington, perlu hanya beberapa bulan untuk pertempuran terakhir di Waterloo. Meskipun kelelahan pasukannya, Jenderal Korsika ini sedang percaya dalam disiplin dan kesetiaan dari 72.000 prajuritnya. Dan pada fajar tanggal 18 Juni 1815, kaisar kecil yang dikelilingi oleh divisi tangguh memindai langit dan berharap lihat tanda positif, misalnya akhirnya musim dingin sangat tiba-tiba dan berkepanjangan. Ampun. Dengan hanya sepertiga dari tentaranya, musuhnya akan berhasil mematahkan mimpi masyarakat Eropa terpesona oleh pikiran politik disampaikan Revolusi Perancis.

courtesy wikimedia.org


150 tahun kemudian, musim dingin sama yang akan menghentikan kemenangan Jerman di Stalingrad, telah menelan chimera Napoleon di lumpur. Kondisi cuaca yang sama untuk semua tentara tentu saja, tapi ada lebih banyak prajurit Perancis tergantung musuhnya dan Napoleon mengatur mereka  seperti di permainan catur. Tapi musuh gerak lebih cepat dan medan perang Waterloo cepat jadi rawa. "Itulah penerbuan total…Mantel dan celana panjang kami ditutupi dengan beberapa kilo lumpur. Banyak tentara telah kehilangan sepatu mereka dan berjalan tanpa sepatu, "kata salah satu sersan, sersan dari Guard Napoléon.
Tentu saja, pada saat itu, tak seorang pun menghubungkan kekalahan militer ini dengan pergolakan iklim yang disebabkan oleh Tambora dua bulan sebelumnya. Ada banyak studi dan buku tentang analisis strategi militer Napoleon, tetapi tidak ada riset yang mengambil penjelasan ini. Penelitian baru tentang dampak bencana alam di peristiwa sejarah membuktikan sebaliknya, bahwa musim Asia ini yang melanda Eropa telah mengubah jalannya sejarah. Menurut Steven Cary, pakar sejarah di University of Rhode Island, tsunami iklim "menyebabkan pendinginan dari 1 ° C di seluruh dunia, dan pengurangan suhu bisa mencapai sepuluh derajat tergantung pada daerah."

Menurut "El Correo" de Bilbao, penulis: Antonio Corbillon
diterjemahkan oleh Christine Kerverdo



courtesy oregonstate.edu


Namun efek dari ledakan Tambora baru saja dirasakan. Tapi tahun 1816 didampaknya secara luas oleh pergolakan iklim ini dan tahun ini disebut sebagai "tahun tanpa musim panas," yang paling terbukti: badai salju menyapu pantai New England, yang menyebabkan Presiden Thomas Jefferson takut kelaparan "luar biasa". Pada waktu itu, Mary Shelley tertekan oleh bencana ini, mulai menulis Frankenstein, menemukan inspirasi dalam hujan yang ketakutan. Lord Byron berdoa surga, memerintahkan dia untuk menjadi lebih lunak, tanpa keberhasilan puitis. Di tempat lain, situasi cuaca lebih rendah. Gangguan iklim terkait dengan Tambora menyebabkan wabah kolera terbesar dalam abad kesembilan belas, yang mulai di Teluk Bengal, India.
Namun, para ahli seperti Profesor Studi Pembangunan Berkelanjutan di University of Illinois Gillen D'Arcy Wood, penulis buku «  Tambora: letusan yang mengubah dunia », memperingatkan bahwa "bahaya terletak di kita sendiri, sebagai manusia, dan bahwa aktivitas manusia merupakan ancaman yang semakin besar untuk dunia alam kita. "

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire