: indonesiapole: Kesempatan hidup baru bagi korban tsunami 2004

Translate

vendredi 19 décembre 2014

Kesempatan hidup baru bagi korban tsunami 2004

Kesempatan hidup baru bagi korban tsunami 2004
18 dec. 2014, 11h41 | MAJ : 18 dec. 2014, 11h41


Rusli Abdul Rahman dan Fardhiah Courtesy lyonne.fr dan Le Parisien


Rusli Abdul Rahman dan Fardhia adalah tetangga sejak tahun-tahun waktu mereka hilang istrinya, suaminya dan anaknya, diambil oleh tsunami yang merusakan propinsi Aceh sepuluh tahun yang lalu.
Tapi, waktu mereka menikah sekali lagi, mereka mulai hidupnya kedua, sebelum seorang anak laki-laki lakhir. Rusli Abdul dan Fardhiah adalah suami-istri baru dibentuk sesudah bencana alam di tanggal Desember 26, 2004, yang mengorbankan sekitar 220,000 jiwa di Asia Tenggara.
Fardhiah sudah berumur 50 tahun. Dia punya hanya satu nama, seperti banyak orang Indonesia. Sekarang dia hidup di sebuah rumah, yang dihiasan dengan motret anggota keluarganya, yang tewas sejak 2004. Fardhiah hidup menduda sebelum berpikir: Saya harus mulai hidup baru. Mungkin Tuhan menyemalatkan saya karena Tuhan tahu saya bisa bantu orang lain”.
Bencana tsunami merusakan struktur sosial kuat yang ada di Aceh, dan orang yang diselamatkan harus mengatasi trauma besar, misalnya lewat pernikahan, walaupun kemungkinan ini adalah sesuatu dilarang sebelum tsunami tersebut.
Sekitar 170,000 orang tewas di Indonesia, terutama di Aceh, yang terletak di Sumatera Utara. Jiwa diambil gelombang dengan tingginya sebesar 35 m.
“Pernikahan dan keluarga baru adalah cara untuk mengatasi secara efisien trauma, kesepian dan penderitaan karena semua tewas”, kata Muhammad Zubedy, yang kerja untuk UNICEF di Banda Aceh.
Orang lain menyelamatkan orang anak yatim sesudah tsunami, seperti Syukri, seorang buruh. Waktu Syukri mencari kakaknya di puing-puing, dia lihat seorang bayi sakit yang berumur kurang dari satu tahun.
“Saya lihatnya dalam hutan dengan kepala dan perut bengkak, dan juga dengan luka-luka”, kata buruh ini kepada AFP. Dia mengambil bayi ini dengannya, dan sesudah sepuluh tahun, laki-laki ini hidup di keluarga Syukri dengan istrinya dan anaknya.
-
“Hidup ganti”. Banyak orang yang diselamatkan sudah biasa kepada keluarganya baru, tapi trauma dari masa lalu kadang-kadang ada, misalnya, pada Syukri. Dia bilang kepada anak nya bahawa dia diangkat. “Saya bilang tak satu pun, karena saya takut dia kecewa, tapi sekarang dia harus kenal kebenaran”, bilang ayah angkat ini, dan anaknya menangis.
Pembentuknya keluarga baru mengakibatkan kesulitan, karena ada orang yang terpisah dari anggota keluarganya karena dipikir mati.
Contoh, Raudhatul Jannah diambil tsunami pada umur empat tahun dan keluarganya pikir dia mati. Tapi, pada bulan Agustus lalu, dia dilihat di kampung oleh pamannya. Sekarang dia hidup dengan orang tuanya, sangat senang. Tapi, seorang nenek yang mendidikannya selama sepuluh tahun hidup sepi sekarang.
Pada umumnya, angkatnya orang diselamatkan tsunami di keluarga baru adalah hal yang baik sesudah bencana alam itu, yang memaksakan ribuan orang untuk hidup dalam tempat pengungsi penuh orang dan memaksakan orang tersebut hidup tergantung pada bantuan internasional.
“Pada waktu itu, kita hidup tanpa masa depan”, ujar Anisah, seorang wanita dengan keluarga yang mendidikan dua anak dan satu anak yatim. Dia harus mendidikan semua anak dengan 20 USD seminggu dari pekerjaan suaminya yang adalah nelayan.
Orang yang diselamatkan menikmati hidup kedua mereka, seperti Wahidah, yang berumur 30 tahun, dan yang menikah sekali lagi sesudah menghilangkan suaminya di bencana alam.
“Kita punya kesempatan baru”, tuturnya. « Saya berdoa tidak ada tsunami lagi yang akan merusakan keluarga baru kita”.


Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire